KUMPULAN PUISI KARYA TAUFIK ISMAIL

 



Kembalikan Indonesia Padaku

(Taufiq Ismail) Paris, 1971

 

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,

sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,

yang menyala bergantian,

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam

dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam

karena seratus juta penduduknya,

 

Kembalikan Indonesia padaku

 

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam

dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam

lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,

dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,

sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,

Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang

sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam

dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,

 

Kembalikan Indonesia padaku

 

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam

dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam

karena seratus juta penduduknya,

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,

sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,

Kembalikan Indonesia padaku

 

 

 

 

 

 

Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya

(Taufik Ismail) 1966

 

Tadi siang ada yang mati,

Dan yang mengantar banyak sekali

Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah

Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!

Sampai bensin juga turun harganya

Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula

Mereka kehausan datam panas bukan main

Terbakar muka di atas truk terbuka

 

Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu

Biarlah sepuluh ikat juga

Memang sudah rezeki mereka

Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan

Seperti anak-anak kecil

“Hidup tukang rambutan!” Hidup tukang rambutani

Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya

Dan ada yang turun dari truk, bu

Mengejar dan menyalami saya

Hidup pak rambutan sorak mereka

Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar

“Hidup pak rambutan!” sorak mereka

Terima kasih, pak, terima kasih!

Bapak setuju karni, bukan?

Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara

Doakan perjuangan kami, pak,

Mereka naik truk kembali

Masih meneriakkan terima kasih mereka

“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”

Saya tersedu, bu. Saya tersedu

Belum pernah seumur hidup

Orang berterima-kasih begitu jujurnya

Pada orang kecil seperti kita.

 

 

 

 

 

Puisi 5 : Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini

(Taufik Ismail) 1966

 

Tidak ada pilihan lain

Kita harus

Berjalan terus

Karena berhenti atau mundur

Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita

Dalam pengabdian tanpa harga

Akan maukah kita duduk satu meja

Dengan para pembunuh tahun yang lalu

Dalam setiap kalimat yang berakhiran

Duli Tuanku ?¡

 

Tidak ada lagi pilihan lain

Kita harus

Berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan

Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh

Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara

Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama

Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka

Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan

Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain

Kita harus

Berjalan terus.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

06:30

(Taufik Ismail) 1965

 

Di pusat Harmoni

Pada papan adpertensi

(Arloji Castell)

Tertulis begini : Dunia Kini

Membutuhkan Waktu Yang Tepat¡

 

Di belakangnya langit pagi

Tembok sungai dan kawat berduri

Pengawalan berjaga. Di istana

 

Arloji Castell

Berkata pada setiap yang lewat

Dunia Kini

Membutuhkan Waktu Yang Tepat¡.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Benteng

(Taufik Ismail) 1966

 

Sesudah siang panas yang meletihkan

Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas

Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung

Bersandar dan berbaring, ada yang merenung

 

Di lantai bungkus nasi bertebaran

Dari para dermawan tidak dikenal

Kulit duku dan pecahan kulit rambutan

Lewatlah di samping Kontingen Bandung

Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana

Semuanya kumal, semuanya tak bicara

Tapi kita tldak akan terpatahkan

Oleh seribu senjata dari seribu tiran

 

Tak sempat lagi kita pikirkan

Keperluan-keperluan kecil seharian

Studi, kamar-tumpangan dan percintaan

Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam

Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal

(Taufik Ismail) 1966

 

Pengkhianatan itu telah terjadi

Pengkhlanatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret

Ada manager-manager politik

Ada despot yang lalim

Ada ruang sidang dalam istana

Ada hulubalang

Serta senjata-senjata

 

Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la

di sana tak ada kepala

tapi hu hu hu

tak ada kepala di atas bahu

Adalah tempolong ludah

Sipoa kantor dagang

Keranjang sampah

Melayang layang

 

Ada pernyataan otomatik

Ada penjara dan maut imajiner

Generasi yang kocak

Usahawan-usahawan politik yang kocak¡­

Ruang sidang dalam istana

La la la

tempolong ludah tak berkepala

Hu hu hu

keranjang sampah di atas bahu

Angin menerbangkan kertas-kertas statemen Terbang

Melayang layang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Malam Sabtu

(Taufik Ismail) 1966

 

Berjagalah terus

Segala kemungkinan bisa terjadi

Malam ini

 

Maukah kita dikutuk anak-cucu

Menjelang akhir abad ini

Karena kita kini berserah diri?

Tidak. Tidak bisa

 

Tujuh korban telah jatuh. Dibunuh

Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri

Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya

Apakah kita hanya akan bernafas panjang Dan seperti biasa: sabar mengurut dada?

Tidak. Tidak bisa

 

Dengarkan. Dengarkanlah di luar itu

Suara doa berjuta-juta

Rakyat yang resah dan menanti

Mereka telah menanti lama sekali

Menderita dalam nyeri

Mereka sedang berdoa malam ini

Dengar. Dengarlah hati-hati.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Rendez - C Vous

(Taufik Ismail) 1966

 

Sejarah telah singgah

Ke kemah kami

Ia menegur sangat ramah

Dan mengajak kami pergi

 

Saya sudah mengetuk-ngetuk

Pintu yang lain,¡

Katanya

Tapi amat heran

Mereka berkali-kali menolakku

Di ambang pintu.¡

 

Klni kami beratus-ribu

Mengiringkan langkah Sejarah

Dalam langkah yang seru

Dan semakin cepat

Semakin dahsyat

Menderu-deru

Dalam angin berputar

Badai peluru

Topan bukit batu!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bendera Laskar

(Taufik Ismail) 1966

 

Kali pertama, di halaman kampus, pagi itu

Telah berkibar bendera laskar

Berkibar putih bagai mega

Dengan garis-garis yang merah

Karena telah dibayar dengan darah

 

Dia telah mendengar teriakan kita

Sepanjang jalan-jalan raya

Di atas truk tanpa tenda

Di atas jip, di depan pawai-pawai semua

Dia selalu mendahului kita

Dalam setiap gerakan

Kepadanya berbagi nestapa kita

Duka setengah tiang

Duka sejarah rnanusia

Yang telah lama dihinakan

Dan dimelaratkan

 

Di depan markas, berkibar bendera laskar

Kami semua melambaimu

Hai kawan dan lambang kami yang setia

Lambailah sejarah dari atas sana

Buat kami satu laskar

Buat generasi yang kukuh dan kekar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Silhuet

(Taufik Ismail) 1965

 

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang lelah

Angin jalanan yang panjang

Tak ada rumah. KIta tak berumah

Kita hanya bayang-bayang

 

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang letih

Di atas jasad yang pedih

Kita lapar. Kita amat lapar

Bayang-bayang yang lapar

 

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang sepi

Sehabis pawai genderang

Angin jalanan yang panjang

Menyusup-nyusup

Menusuk-nusuk

Bayang-bayang berjuta

Berjuta bayang-bayang

 

Di bawah bayangan pilar

Di bawah bayangan emas

Berjuta bayang-bayang

Menangisi gerimis

Menangisi gunung api

Kabut yang ungu

Membelai perlahan

Hutan-hutan

Di selatan.

 

 

 

 

 

 

 

Bukit Biru, Bukit Kelu

(Taufik Ismail) 1965

 

Adalah hujan dalam kabut yang ungu

Turun sepanjang gunung dan bukit biru

Ketika kota cahay dan di mana bertemu

Awan putih yang menghinggapi cemaraku

 

Adalah kemarau dalam sengangar berdebu

Turun sepanjang gunung dan bukit kelu

Ketika kota tak bicara dan terpaku

Gunung api dan hama di ladang-ladangku

 

Lereng-lereng senja

Pernah menyinar merah kesumba

Padang hilalang dan bukit membatu

Tanah airku

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Refleksi Seorang Pejuang Tua

(Taufik Ismail) 1966

 

Tentara rakyat telah melucuti Kebatilan

Setelah mereka menyimak deru sejarah

Dalam regu perkasa mulallah melangkah

Karena perjuangan pada hari-hari ini

Adalah perjuangan dari kalbu yang murni

Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya

Kecuali dua puluh tahun yang lalu

 

Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya

Pelajar muda berlarian ke jalan-jalan raya

Mereka kembali menyeru-nyeru

Nama kau, Kemerdekaan

Seperti dua puluh tahun yang lalu

 

Spiral sejarah telah mengantarkan kita

Pada titik ini

Tak ada seorang pun tiran

Sanggup di tengah jalan mengangkat tangan

Danberseru: Berhenti!

 

Tidak ada. Dan kalau pun ada

Tidak bisa

 

Karena perjuangan pada hari-hari ini

Adalah perjuangan dimulai dari sunyi

Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya Kecuali duapuluh tahun yang lalu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Oda Bagi Seorang Sopir Truk

(Taufik Ismail) 1966

 

Sebuah truk lama

Dengan supir bersahaja

Telah beruban dan agak bungkuk

Di atas stimya tertidur

Di tepi jalan yang sepi

Di suatu senja musim ini

 

Dalam tidumya ia bermimpi

Jalanan telah rata. Ditempuhnya

Dengan sebuah truk baru

Dengan klakson yang bisa berlagu

Dan di sepanjang jalanan

Beribu anak-anak demonstran

Tersenyum padanya, mengelu-elukan

Hiduplah bapak supir yang tua

Yang dulu berjuang bersama kami

Selama demonstrasi

 

Di tepi sebuah jalan di ibukota

Ketika udara panas, di suatu senja

Seorang supir lusuh dengan truk yang tua

Duduk sendiri terkantuk-kantuk Semakin letih, semakin bungkuk.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ketika Burung Merpati Sore Melayang

(Taufik Ismail)

Langit akhlak telah roboh di atas negeri

Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri

Karena hukum tak tegak, semua jadi begini

Negeriku sesak adegan tipu-menipu

Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku

Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku

Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku

Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku

Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku

 

Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan

Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan

Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan

Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan

Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

 

Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan

Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan

Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan

Berjuta belalang menyerang lahan pertanian

Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

 

Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api

Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti

Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri

Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini

Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api

Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi

Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

 

Kukenangkan tahun 1947 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga

Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi

Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri

Seluruh korban empat tahun revolusi

Dengan Mei 1998 jauh beda, jauh kalah ngeri

Aku termangu mengenang ini

Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

 

Ada burung merpati sore melayang

Adakah desingnya kau dengar sekarang

Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan

Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan

Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah

Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku

Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?

 

Ada burung merpati sore melayang

Adakah desingnya kau dengar sekarang

 

Syair Empat Kartu Di Tangan

(Taufik Ismail) 1988

 

Ini bicara blak-blakan saja, bang

Buka kartu tampak tampang

Sehingga semua jelas membayang

 

Monoloyalitas kami

sebenarnya pada uang

Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara

Koyak tampak terkubak semua

Sehingga buat apa basi dan basa

Sila kami

Keuangan Yang Maha Esa

Jangan sungkan buat apa yah-payah

Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah

Tak usahlah sah-susah

Ideologiku begitu jelas

ideologi rupiah

Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan

Setiap jeroan berjajar kelihatan

Sehingga jelas sebagai keseluruhan

Asas tunggalku

memang keserakahan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 Bayi Lahir Bulan Mei 1998

(Taufik Ismail) 1988

 

Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga

Suaranya keras, menangis berhiba-hiba

Begitu lahir ditating tangan bidannya

Belum kering darah dan air ketubannya

Langsung dia memikul hutang di bahunya

Rupiah sepuluh juta

 

Kalau dia jadi petani di desa

Dia akan mensubsidi harga beras orang kota

Kalau dia jadi orang kota

Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya

Kalau dia bayar pajak

Pajak itu mungkin jadi peluru runcing

Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing

 

Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga

Mulutmu belum selesai bicara

Kau pasti dikencinginya.

 


Komentar