Makalah Perjanjian Internasional



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dewasa ini hukum internasional sebagaian besar terdiri dari perjanjian-perjanjian internasional. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa perjanjian internasional telah mendesak dan menggeser kedudukan dan peranan hukum kebiasaan internasional yang pada awal sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional menduduki tempat yang utama.
Tepatlah apa yang dikatakan G.I. Tunkin, bahwa secara proporsional perjanjian internasional pada masa kini menduduki tempat yang utama dalam hukum internasional sebagai akibat dari munculnya secara meluas persetujuan-persetujuan internasional.
Dalam pembahasan ini, akan dicoba melihat apa dan bagaimana kerjasama internasional dalam wujud perjanjian internasional, dasar hukum serta ruang lingkupnya dalam konteks penegakan hukum pidana transnasional maupun tindak pidana
Perjanjian Internasional memiliki kedudukan yang penting dalam hubungan internasional, yaitu: 1) akan menjamin kepastian hukum (hak dan kewajiban) dari negara-negara yang mengadakan hubungan internasional; 2) Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama Negara-negara yang mengadakan hubungan internasional. Selain itu disebutkan dalam Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional bahwa Perjanjian Internasional ini merupakan sumber utama dari sumber-sumber hukum internasional.

1.2. Rumusan Masalah
1.    Apa itu Perjanjian Internasional  ?
2.    Apa Saja Azas-azas / prinsip dalam perjanjian internasional?
3.    Sebutkan  Istilah-istilah dalam perjanjian internasional ?
4.    Sebutkan Macam-macam perjanjian internasional ?
5.    Apa Saja Tahap-Tahap Perjanjian Internasional  ?
6.    Sebutkan Jenis dan sifat Perjanjian Internasional ?
7.    Bagaimana  Pelaksanaan Perjanjian Internasional ?
8.    Bagaimana Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia ?

1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu :
1.      Untuk  mengetahui apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional
2.      Untuk  mengetahui Azas-azas / prinsip dalam perjanjian internasional
3.      Untuk  mengetahui Istilah-istilah dalam perjanjian internasional
4.      Untuk  mengetahui Macam-macam perjanjian internasional
5.      Untuk  mengetahui Tahap-Tahap Perjanjian Internasional 
6.      Untuk  mengetahui Jenis dan sifat Perjanjian Internasional
7.      Untuk  mengetahui Pelaksanaan Perjanjian Internasional
8.      Untuk  mengetahui Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia























BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Perjanjian Internasional
1.      Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH. LL.M., perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antar bangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat hukum tertentu.
2.      Oppenheimer-Lauterpacht, perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar negara yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang mengadakannya.
3.      G. Schwarzenberger, perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional. Perjanjian internasional dapat berbentuk bilateral maupun multirateral. Subjek-subjek hukum dalam hal ini selain lembaga-lembaga internasional, juga negara-negara.
4.      Konvensi Wina 1969, Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa perjanjian internasional akan menimbulkan akibat hukum yang harus dipenuhi oleh masing-masing negara agar tujuan diadakannya perjanjian internasional dapat dicapai dengan baik.

2.2. Azas-azas / prinsip dalam perjanjian internasional
1.      Pacta sun servanda, yaitu para pihak yang terikat pada suatu perjanjian, harus entaati perjanjian yang telah dibuatnya. (perjanjian internasional mengikat dan berlaku sebaai undang-undang bagi para pihak)
2.      Good faith (itikad baik) yaitu semua pihak yang terikat dalam suatu perjanjian internasional harus beritikad baik untuk melaksanakan isi perjanjian
3.      Rebus sic stantibus, yaitu suatu perjanjian internasional boleh dilanggar dengan syarat adanya perubahan yang fundamental, artinya jika perjanjian internasional tersebut dilaksanakan maka akan bertentangan dengan kepentingan umum pada negara bersangkutan

2.3. Istilah-istilah dalam perjanjian internasional
 Beberpa istilah perjanjian internasional, antara lain:
1.      Traktat (treaty), perjanjian paling formal yang merupakan persetujuan dari dua negara atau lebih. Perjanjian ini khusus mencakup bidang politik dan ekonomi.
2.      Konvensi (convention), persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak berurusan dengan kebijakan tingkat tinggi (high policy).
3.      Protokol (protocol), persetujuan yang tidak resmi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala negara. Biasanya protocol mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausal-kalusal tertentu.
4.      Persetujuan (agreement), perjanjian yang bersifat teknis atau administrative. Persetujuan ini tidak perlu ratifikasi karena tidak seresmi traktat atau konvensi.
5.      Charter, istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administrative. Misalnya Atlantic Charter 1941 yang mengilhami berdirinya PBB.
6.      Pakta (pact), istilah yang menunjukkan suatu perjanjian yang lebih khusus. Misalnya Pakta pertahanan NATO, SEATO.
7.      Piagam (statute), himpunan peraturan yang ditetapkan oleh peraetujuan internasional.
8.      Deklarasi (declaration), perjanjian internasional yang berbentuk traktat dan dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai traktat jika menerangkan suatu judul dari batang tubuh ketentuan traktat, dan sebagai dokumen tidak resmi apabila merupakan lampiran pada traktat atau konvensi.

2.4. Macam-macam perjanjian internasional
 Perjanjian internasional dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu :
1.      Berdasarkan Para Pihak
Berdasarkan para pihak perjanjian terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
Perjanjian Bilateral, yaitu perjanjian antar dua negara atau dua organisasi. Perundingan dalam perjanjian ini disebut dengan istilah pembicaraan (talk).
Perjanjian Multilateral, yaitu perjanjian yang diadakan oleh beberapa negara atau organisasi. Perundingan dalam perjanjian ini disebut konferensi diplomatic (diplomatic conference).


2.      Berdasarkan sifat perjanjian.
Berdasarkan sifatnya perjanjian terbagi menjadi dua, yaitu :
Treaty Contract, yaitu perjanjian yang hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, misalnya perjanjian RI dengan RRC mengenai kewarganegaraan.
Law Making Treaty, yaitu perjanjian yang akibat-akibatnya menjadi dasar dan kaidah hukum internasional, misalnya Konvensi Hukum Laut tahun 1958, Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatic dan Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.

2.5. Tahap-Tahap Perjanjian Internasional
 Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional adalah sebagai berikut :
1.      Tahap Perundingan (negotiation)
Pada tahap ini pihak-pihak akan mempertimbangkan terlebih dahulu materi yang hendak dicantumkan dalam naskah perjanjian. Materi tersebut ditinjua dari sudut pandang politik, ekonomi maupun keamanan dan juga mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul setelah perjanjian disahka. Penunjukkan wakil suatu negara dalam perundingan diserahkan sepenuhnya kepada negara bersangkutan.
Untuk mencegah agar tidak terjadi pengatasnamaan negara secara tidak sah maka hukum internasional mengadakan ketentuan tentang kuasa penuh (full Power) yang harus dimiliki oleh perwakilan suatu negara dalam perundingan tersebut dengan menunjukkan Surat Kuasa Penuh, kecuali jika semua peserta konferensi menentukan bahwa Surat Kuasa Penuh tersebut tidak diperlukan. Penunjukkan surat kuasa penuh tidak berlaku bagi kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, kepala perwakilan diplomatic dan wakil suatu negara.
Perundingan yang dialakukan dalam perjanjian bilateral disebut dengan “talk”. Sedangkan dalam perjanjian multilateral disebut dengan “diplomatic conference”.
2.      Tahap Penandatangan (signature)
Tahap penandatanganan diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan (authentication of the text). Apabila koferensi tidak menentukan cara pengesahan maka pengesahan dapat dilakukan dengan penendatanganan, penandatanganan sementara atau pembubuhan paraf. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, berarti suatu negara telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan persetujuan untuk mengikat diri pada perjanjian dapat pula dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta (acesion) atau menerima (acepance) suatu perjanjian.
3.      Tahap Ratifikasi (ratification)
Meskipun delegasi suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian internasional, tidak berarti bahwa negara tersebut secara otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara tersebut baru terikat pada materi/ isi perjanjian setelah naskah tersebut diratifikasi. Ratifikasi adalah pengesahan naskah perjanjian internasional yang diberikan ole badan yang berwenang di suatu negara. Di Indonesia badan yang berwenang untuk meratifikasi suatu perjanjian adalah presiden dengan persetujuan DPR sesuai dengan pasal 11 ayat 1 UUD 1945, yang meyatakan, “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan pernag, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Dalam praktiknya, pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan oleh :
v  Pengesahan oleh badan eksekutif
v  pengesahan oleh badan legislatif
v  pengesahanoleh badan eksekutif dan legislatif.

2.6. Jenis dan sifat Perjanjian Internasional
1.      Perjanjian Bilateral, bersifat khusus (treaty contract) dan tertutup. Treaty contract berarti   perjanjian yang dilakukan hanya mengikat dua negara yang berjanji, contoh :
·         Perjanjian antara Republik Indonesia dengan RRC (Republika Rakyat Cina) pada tahun 1955 tentang penyelesaian “dwikewarganegaraan”.
·         Perjanjian antara Indonesia dengan Muangthai tentang “Garis Batas Laut Andaman” di sebalah utara Selat Malaka pada tahun 1971.
·         Perjanjian “ekstradisi” antara Republik Indonesia dan Malaysia pada tahun 1974.
·         Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai pertahanan dan keamanan wilayah kedua negara pada tanggal 16 Desember 1995.
2.      Perjanjian Multilateral, sering disebut sebagai law making treaties karena biasanya mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan bersifat “terbuka.” Law making treaties berarti perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara (multilateral akan menjai hukum yang mengikat bagi masyarakat internasional secara menyeluruh. Ada beberapa contoh :
·         Konvensi Jenewa, tahun 1949 tentang “Perlindungan Korban Perang”.
·         Konvensi Wina, tahun 1961, tentang “Hubungan Diplomatik”.
·         Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 tentang “Laut Teritorial, Zona Ber-sebelahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Benua”.

2.7. Pelaksanaan Perjanjian Internasional
1.      Ketaatan Terhadap Perjanjian 
Perjanjian harus dipatuhi (pacta sunt servada). Perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi pihak yang berjanji sehingga para pihak harus mentaatinya.
Kesadaran hukum nasional. Perjanjian akan dipatuhi jika tidak bertentangan dengan hukum nasional negara bersangkutan.
2.      Kedudukan Negara Bukan Peserta
Negara bukan peserta pada hakikatnya tidak memiliki hak dan kewajiban untuk mematuhinya. Akan tetapi, bila perjanjian itu bersifat multilateral (PBB) atau objeknya besar (Terusan Suez, Panama, Selat Malaka dan lain-lain), mereka dapat juga terikat, apabila
3.      Negara tersebut menyatakan diri terikat terhadap perjanjian itu, dan
4.      Negara tersebut dikehendaki oleh para peserta.
Pembatalan Perjanjian Internasional
Berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969, karena berbagai alasan, suatu perjanjian internasional dapat batal, antara lain :
·         Negara peserta atau wakil kuasa penih melanggar ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya.
·         Adanya unsur kesalahn (error) pada saat perjanjian dibuat.
·          Adanya unsur penipuan dari negara peserta tertentu terhadap negara peserta lain waktu pembentukan perjanjian.
·         Terdapat penyalahgunaan atau kecurangan (corruption), baik melalui kelicikan atau penyuapan.
·         Adanya unsur paksaan terhadap wakil suatu negara peserta. Paksaan tersebut baik dengan ancaman maupun penggunaan kekuatan.
·         Bertentangan dengan suatu kaidah dasar hukum internasional umum.
Berakhirnya Perjanjian Intenasional
Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., mengatakan bahwa suatu perjanjian berakhir karena:
a.       Telah tercapai tujuan dari perjanjian internasional itu.
b.      Masa beraku perjanjian internasional itu sudah habis.
c.        Salah satu pihak peserta perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian itu.
d.      Adanya persetujuan dari peserta-peserta untuk mengakhiri perjanjian itu.
e.       Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang terdahulu.
f.       Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sudah dipenuhi.
g.      Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima oleh pihak lain.

2.8. Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional. Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:
1.      Ketentuan Umum
2.      Pembuatan Perjanjian Internasional
3.      Pengesahan Perjanjian Internasional
4.      Pemberlakuan Perjanjian Internasional
5.      Penyimpanan Perjanjian Internasional
6.      Pengakhiran Perjanjian Internasional
7.      Ketentuan Peralihan
8.      Ketentuan Penutup
Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori yaitu:
1.      Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
2.      Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
3.      Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
4.      Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan. Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional memerlukan Surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.
Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR. Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
a.       masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b.      perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
c.       kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d.      hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e.       pembentukan kaidah hukum baru;
f.       pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000. Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:
”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.” 
Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak. Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

















BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Setiap bangsa dan Negara yang ikut dalam suatu perjanjian yang telah mereka lakukan, harus menjunjung tinggi semua dan seluruh peraturan-peraturan atau ketentuan yang ada di dalamnya. Karena hal tersebut merupakan asas hukum perjanjian bahwa”Janji itu mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini disebut dengan asas pacta sunt servanda.
Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya ada sebagian Negara atau bangsa yang melanggar dalam arti tidak mentaati aturan-aturan yang telah diputuskan sebelumnya, maka tidak mustahil bukan kedamaian atau keharmonisan yang tercipta, tetapi barangkali saling bertentangan diantara Negara-negara yang melakukan perjanjian tersebut.

3.2. Saran
Demikianlah Makalah yang kami buat, kami menyadari bahwa makalah yang telah kami buat ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun, sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya.














DAFTAR PUSTAKA

Komentar