BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini hukum internasional sebagaian besar terdiri
dari perjanjian-perjanjian internasional. Bahkan tidak berlebihan jika
dikatakan, bahwa perjanjian internasional telah mendesak dan menggeser
kedudukan dan peranan hukum kebiasaan internasional yang pada awal sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional menduduki tempat yang utama.
Tepatlah apa yang dikatakan G.I. Tunkin, bahwa
secara proporsional perjanjian internasional pada masa kini menduduki tempat yang
utama dalam hukum internasional sebagai akibat dari munculnya secara meluas
persetujuan-persetujuan internasional.
Dalam pembahasan ini, akan dicoba melihat apa dan
bagaimana kerjasama internasional dalam wujud perjanjian internasional, dasar
hukum serta ruang lingkupnya dalam konteks penegakan hukum pidana transnasional
maupun tindak pidana
Perjanjian Internasional memiliki
kedudukan yang penting dalam hubungan internasional, yaitu: 1) akan menjamin
kepastian hukum (hak dan kewajiban) dari negara-negara yang mengadakan hubungan
internasional; 2) Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan
bersama Negara-negara yang mengadakan hubungan internasional. Selain itu
disebutkan dalam Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional bahwa Perjanjian
Internasional ini merupakan sumber utama dari sumber-sumber hukum
internasional.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa itu
Perjanjian Internasional ?
2. Apa Saja Azas-azas / prinsip dalam perjanjian
internasional?
3. Sebutkan Istilah-istilah dalam
perjanjian internasional ?
4. Sebutkan Macam-macam perjanjian internasional ?
5. Apa Saja Tahap-Tahap Perjanjian Internasional ?
6. Sebutkan Jenis dan sifat Perjanjian Internasional ?
7. Bagaimana Pelaksanaan Perjanjian
Internasional ?
8. Bagaimana Pengesahan Pernjanjian
Internasional di Indonesia
?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu :
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional
2. Untuk
mengetahui Azas-azas / prinsip dalam
perjanjian internasional
3. Untuk
mengetahui Istilah-istilah dalam
perjanjian internasional
4. Untuk
mengetahui Macam-macam perjanjian
internasional
5. Untuk
mengetahui Tahap-Tahap Perjanjian
Internasional
6. Untuk
mengetahui Jenis dan sifat Perjanjian
Internasional
7. Untuk
mengetahui Pelaksanaan Perjanjian
Internasional
8. Untuk
mengetahui Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Perjanjian Internasional
1. Prof Dr.
Mochtar Kusumaatmadja, SH. LL.M., perjanjian internasional adalah perjanjian
yang diadakan antar bangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat hukum
tertentu.
2. Oppenheimer-Lauterpacht,
perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar negara yang menimbulkan
hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang mengadakannya.
3. G.
Schwarzenberger, perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antara
subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang
mengikat dalam hukum internasional. Perjanjian internasional dapat berbentuk
bilateral maupun multirateral. Subjek-subjek hukum dalam hal ini selain
lembaga-lembaga internasional, juga negara-negara.
4. Konvensi
Wina 1969, Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua
negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa perjanjian internasional
akan menimbulkan akibat hukum yang harus dipenuhi oleh masing-masing negara
agar tujuan diadakannya perjanjian internasional dapat dicapai dengan baik.
2.2. Azas-azas /
prinsip dalam perjanjian internasional
1. Pacta sun
servanda, yaitu para pihak yang terikat pada suatu perjanjian,
harus entaati perjanjian yang telah dibuatnya. (perjanjian internasional
mengikat dan berlaku sebaai undang-undang bagi para pihak)
2. Good faith (itikad
baik) yaitu semua pihak yang terikat dalam suatu perjanjian internasional harus
beritikad baik untuk melaksanakan isi perjanjian
3. Rebus sic
stantibus, yaitu suatu perjanjian internasional boleh dilanggar dengan syarat adanya
perubahan yang fundamental, artinya jika perjanjian internasional tersebut
dilaksanakan maka akan bertentangan dengan kepentingan umum pada negara
bersangkutan
2.3. Istilah-istilah
dalam perjanjian internasional
Beberpa istilah
perjanjian internasional, antara lain:
1.
Traktat (treaty), perjanjian paling formal yang
merupakan persetujuan dari dua negara atau lebih. Perjanjian ini khusus
mencakup bidang politik dan ekonomi.
2.
Konvensi (convention), persetujuan formal yang
bersifat multilateral dan tidak berurusan dengan kebijakan tingkat tinggi (high
policy).
3.
Protokol (protocol), persetujuan yang tidak
resmi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala negara. Biasanya protocol
mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausal-kalusal tertentu.
4.
Persetujuan (agreement), perjanjian yang bersifat
teknis atau administrative. Persetujuan ini tidak perlu ratifikasi karena tidak
seresmi traktat atau konvensi.
5.
Charter, istilah yang dipakai dalam
perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi
administrative. Misalnya Atlantic Charter 1941 yang mengilhami berdirinya PBB.
6.
Pakta (pact), istilah yang menunjukkan suatu
perjanjian yang lebih khusus. Misalnya Pakta pertahanan NATO, SEATO.
7.
Piagam (statute), himpunan peraturan yang
ditetapkan oleh peraetujuan internasional.
8.
Deklarasi (declaration), perjanjian
internasional yang berbentuk traktat dan dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai
traktat jika menerangkan suatu judul dari batang tubuh ketentuan traktat, dan
sebagai dokumen tidak resmi apabila merupakan lampiran pada traktat atau
konvensi.
2.4. Macam-macam
perjanjian internasional
Perjanjian
internasional dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu :
1. Berdasarkan
Para Pihak
Berdasarkan
para pihak perjanjian terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
Perjanjian Bilateral, yaitu perjanjian antar dua negara atau dua organisasi. Perundingan dalam perjanjian ini disebut dengan istilah pembicaraan (talk).
Perjanjian Multilateral, yaitu perjanjian yang diadakan oleh beberapa negara atau organisasi. Perundingan dalam perjanjian ini disebut konferensi diplomatic (diplomatic conference).
Perjanjian Bilateral, yaitu perjanjian antar dua negara atau dua organisasi. Perundingan dalam perjanjian ini disebut dengan istilah pembicaraan (talk).
Perjanjian Multilateral, yaitu perjanjian yang diadakan oleh beberapa negara atau organisasi. Perundingan dalam perjanjian ini disebut konferensi diplomatic (diplomatic conference).
2. Berdasarkan
sifat perjanjian.
Berdasarkan
sifatnya perjanjian terbagi menjadi dua, yaitu :
Treaty Contract, yaitu perjanjian yang hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, misalnya perjanjian RI dengan RRC mengenai kewarganegaraan.
Law Making Treaty, yaitu perjanjian yang akibat-akibatnya menjadi dasar dan kaidah hukum internasional, misalnya Konvensi Hukum Laut tahun 1958, Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatic dan Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.
Treaty Contract, yaitu perjanjian yang hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, misalnya perjanjian RI dengan RRC mengenai kewarganegaraan.
Law Making Treaty, yaitu perjanjian yang akibat-akibatnya menjadi dasar dan kaidah hukum internasional, misalnya Konvensi Hukum Laut tahun 1958, Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatic dan Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.
2.5. Tahap-Tahap
Perjanjian Internasional
Tahap-tahap
pembuatan perjanjian internasional adalah sebagai berikut :
1.
Tahap Perundingan (negotiation)
Pada tahap ini pihak-pihak akan mempertimbangkan
terlebih dahulu materi yang hendak dicantumkan dalam naskah perjanjian. Materi
tersebut ditinjua dari sudut pandang politik, ekonomi maupun keamanan dan juga
mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul setelah perjanjian disahka.
Penunjukkan wakil suatu negara dalam perundingan diserahkan sepenuhnya kepada
negara bersangkutan.
Untuk mencegah agar tidak terjadi pengatasnamaan
negara secara tidak sah maka hukum internasional mengadakan ketentuan tentang
kuasa penuh (full Power) yang harus dimiliki oleh perwakilan suatu negara dalam
perundingan tersebut dengan menunjukkan Surat Kuasa Penuh, kecuali jika semua
peserta konferensi menentukan bahwa Surat Kuasa Penuh tersebut tidak
diperlukan. Penunjukkan surat kuasa penuh tidak berlaku bagi kepala negara,
kepala pemerintahan, menteri luar negeri, kepala perwakilan diplomatic dan
wakil suatu negara.
Perundingan yang dialakukan dalam perjanjian bilateral
disebut dengan “talk”. Sedangkan dalam perjanjian multilateral disebut dengan
“diplomatic conference”.
2.
Tahap Penandatangan (signature)
Tahap penandatanganan diakhiri dengan penerimaan
naskah (adoption of the text) dan pengesahan (authentication of the text).
Apabila koferensi tidak menentukan cara pengesahan maka pengesahan dapat
dilakukan dengan penendatanganan, penandatanganan sementara atau pembubuhan
paraf. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, berarti suatu negara
telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui
penandatanganan persetujuan untuk mengikat diri pada perjanjian dapat pula
dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta (acesion) atau menerima
(acepance) suatu perjanjian.
3.
Tahap Ratifikasi (ratification)
Meskipun delegasi suatu negara telah menandatangani
suatu perjanjian internasional, tidak berarti bahwa negara tersebut secara
otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara tersebut baru terikat pada materi/
isi perjanjian setelah naskah tersebut diratifikasi. Ratifikasi adalah
pengesahan naskah perjanjian internasional yang diberikan ole badan yang
berwenang di suatu negara. Di Indonesia badan yang berwenang untuk meratifikasi
suatu perjanjian adalah presiden dengan persetujuan DPR sesuai dengan pasal 11
ayat 1 UUD 1945, yang meyatakan, “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan
pernag, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Dalam
praktiknya, pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan oleh :
v Pengesahan
oleh badan eksekutif
v pengesahan
oleh badan legislatif
v pengesahanoleh
badan eksekutif dan legislatif.
2.6. Jenis
dan sifat Perjanjian Internasional
1. Perjanjian
Bilateral, bersifat khusus (treaty contract) dan tertutup. Treaty
contract berarti perjanjian yang
dilakukan hanya mengikat dua negara yang berjanji, contoh :
·
Perjanjian antara Republik Indonesia dengan RRC
(Republika Rakyat Cina) pada tahun 1955 tentang penyelesaian
“dwikewarganegaraan”.
·
Perjanjian antara Indonesia dengan Muangthai tentang
“Garis Batas Laut Andaman” di sebalah utara Selat Malaka pada tahun 1971.
·
Perjanjian “ekstradisi” antara Republik Indonesia dan
Malaysia pada tahun 1974.
·
Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia
mengenai pertahanan dan keamanan wilayah kedua negara pada tanggal 16 Desember
1995.
2. Perjanjian
Multilateral, sering disebut sebagai law making treaties karena biasanya
mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan bersifat “terbuka.” Law
making treaties berarti perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara
(multilateral akan menjai hukum yang mengikat bagi masyarakat internasional
secara menyeluruh. Ada beberapa contoh :
·
Konvensi Jenewa, tahun 1949 tentang “Perlindungan
Korban Perang”.
·
Konvensi Wina, tahun 1961, tentang “Hubungan
Diplomatik”.
·
Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 tentang
“Laut Teritorial, Zona Ber-sebelahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas
Benua”.
2.7. Pelaksanaan
Perjanjian Internasional
1. Ketaatan
Terhadap Perjanjian
Perjanjian harus dipatuhi (pacta sunt servada).
Perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi pihak yang berjanji sehingga para
pihak harus mentaatinya.
Kesadaran hukum nasional. Perjanjian akan dipatuhi jika tidak bertentangan dengan hukum nasional negara bersangkutan.
Kesadaran hukum nasional. Perjanjian akan dipatuhi jika tidak bertentangan dengan hukum nasional negara bersangkutan.
2. Kedudukan
Negara Bukan Peserta
Negara bukan peserta pada hakikatnya tidak memiliki
hak dan kewajiban untuk mematuhinya. Akan tetapi, bila perjanjian itu bersifat
multilateral (PBB) atau objeknya besar (Terusan Suez, Panama, Selat Malaka dan
lain-lain), mereka dapat juga terikat, apabila
3. Negara
tersebut menyatakan diri terikat terhadap perjanjian itu, dan
4. Negara
tersebut dikehendaki oleh para peserta.
Pembatalan Perjanjian Internasional
Berdasarkan
Konvensi Wina tahun 1969, karena berbagai alasan, suatu perjanjian
internasional dapat batal, antara lain :
·
Negara peserta atau wakil kuasa penih melanggar
ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya.
·
Adanya unsur kesalahn (error) pada saat perjanjian
dibuat.
·
Adanya unsur
penipuan dari negara peserta tertentu terhadap negara peserta lain waktu
pembentukan perjanjian.
·
Terdapat penyalahgunaan atau kecurangan (corruption),
baik melalui kelicikan atau penyuapan.
·
Adanya unsur paksaan terhadap wakil suatu negara
peserta. Paksaan tersebut baik dengan ancaman maupun penggunaan kekuatan.
·
Bertentangan dengan suatu kaidah dasar hukum
internasional umum.
Berakhirnya Perjanjian Intenasional
Prof. DR.
Mochtar Kusumaatmadja, S.H., mengatakan bahwa suatu perjanjian berakhir karena:
a.
Telah tercapai tujuan dari perjanjian internasional
itu.
b.
Masa beraku perjanjian internasional itu sudah habis.
c.
Salah satu
pihak peserta perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian itu.
d.
Adanya persetujuan dari peserta-peserta untuk
mengakhiri perjanjian itu.
e.
Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian
meniadakan perjanjian yang terdahulu.
f.
Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai
dengan ketentuan perjanjian itu sudah dipenuhi.
g.
Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu
peserta dan pengakhiran itu diterima oleh pihak lain.
2.8. Pengesahan Pernjanjian Internasional di
Indonesia
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi
internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum
yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional
lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional
dilakukan berdasarkan undang-undang.
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional
seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa
Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu
penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku
dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No.
2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini
yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22
Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah
menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.
Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan
melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang
diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari
Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti
dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian
internasional. Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian
internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang
No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:
1.
Ketentuan Umum
2.
Pembuatan Perjanjian Internasional
3.
Pengesahan Perjanjian Internasional
4.
Pemberlakuan Perjanjian Internasional
5.
Penyimpanan Perjanjian Internasional
6.
Pengakhiran Perjanjian Internasional
7.
Ketentuan Peralihan
8.
Ketentuan Penutup
Dalam
pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori yaitu:
1.
Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara
yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani
naskah perjanjian internasional;
2.
Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang
akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani
naskah perjanjian;
3.
Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval)
yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu
perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
4.
Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian
internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat
penandatanganan).
Dalam suatu
pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak
serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian
tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan
untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak
sebelum perjanjian tersebut disahkan. Seseorang
yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah
suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional
memerlukan Surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa
adalah Presiden dan Menteri.
Tetapi
penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis
sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada
dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik
departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.
Pengesahan
perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan
oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian
internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak.
Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah
terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.Pengesahan
perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan
Presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR.
Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.
Pengesahan
perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan
dengan:
a.
masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan
negara;
b.
perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
c.
kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d.
hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e.
pembentukan kaidah hukum baru;
f.
pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Di dalam
mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau
keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat.
Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional
tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada
dalam undang-undang No. 24 tahun 2000. Indonesia
sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9
ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:
”Pengesahan
perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan
undang-undang atau keputusan presiden.”
Dengan
demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional
indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia
memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang
berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.Perjanjian internasional harus
ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun
2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang
ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi
hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia
sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk
perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih
spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh
Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights
melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang
yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang
lebih spesifik.
Perjanjian
internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya,
biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis
terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung
berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota
diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak. Perjanjian yang termasuk dalam
kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara
teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan
kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota.
Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi
ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Setiap bangsa dan Negara yang ikut dalam suatu
perjanjian yang telah mereka lakukan, harus menjunjung tinggi semua dan seluruh
peraturan-peraturan atau ketentuan yang ada di dalamnya. Karena hal tersebut
merupakan asas hukum perjanjian bahwa”Janji itu mengikat para pihak dan harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini disebut dengan asas pacta sunt
servanda.
Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya ada
sebagian Negara atau bangsa yang melanggar dalam arti tidak mentaati
aturan-aturan yang telah diputuskan sebelumnya, maka tidak mustahil bukan
kedamaian atau keharmonisan yang tercipta, tetapi barangkali saling
bertentangan diantara Negara-negara yang melakukan perjanjian tersebut.
3.2. Saran
Demikianlah Makalah yang kami buat, kami menyadari
bahwa makalah yang telah kami buat ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Untuk itu saran dan kritik
yang bersifat membangun, sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan makalah
ini dan selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar